imam SYAFI'I

"yang paling Nampak pada diri manusia adalah kelemahanya, maka barang siapa melihat kelemahan dirinya sendiri, ia akan menggapai keseimbangan terhadap perintah Allah."

Senin, 09 Desember 2013

Budaya Menulis di Kalangan Mahasiswa




Di zaman sekarang, minat,  apresiasi, perhatian, dan tingkat penghargaan menulis sangat rendah di masyarakat. Rendahnya apresiasi masyarakat itu di sebabkan oleh berbagai hal antara lain kurangnya minat menulis dan belum ditemukanya metode yang pas untuk pembinaan menulis.
Mahasiswa yang mestinya identik dengan aktivitas membaca dan menulis. Justru kompetensi kearah sana sangat rendah, Kompetensi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian menjadikannya unggul dalam bidang tertentu dan sangat siap untuk bersaing. Kompetensi yang saya soroti dalam tulisan ini adalah kompetensi menulis yang belum menjadi budaya di kalangan mahasiswa. Bahwa kompetensi menulis di kalangan mahasiswa sampai saat ini masih sangat memprihatinkan.
Khususnya di kalangan IAIN Walisongo Semarang.
Diakui atau tidak, kritikan tersebut memang benar adanya dan patut kita renungkan untuk menemukan akar permasalahannya. Kita tidak perlu membuat indikator terlalu banyak. Cobalah amati rekan-rekan mahasiswa di sekeliling kita. Berapa banyak di antara mereka yang membuat tulisan-tulisan, yang kemudian muncul di media cetak. Cobalah amati berapa banyak dari mereka yang membaca surat kabar ? Hitunglah berapa banyak artikel yang ditulis oleh para mahasiswa. Pasti jarang sekali, bukan?
Benarkah mahasiswa tidak mampu menulis atau tidak terbiasa menulis? Jawabannya pasti bermacam ragam. Namun dalam kenyataannya, memang sangat sedikit  yang menulis. Jangankan untuk menulis di media massa, jurnal atau yang lainnya, untuk membuat karya tulis paling-paling hanya sebatas makalah, itupun jika bukan karena tugas dari dosen mungkin mereka tidak akan membuatnya. Ironisnya lagi, untuk membuat makalah saja banyak yang angkat tangan, dan kadang hanya mencari mudahnya saja dengan mencari di internet, Kondisi seperti ini tentu merupakan sesuatu yang memprihatinkan bagi kita.
Untuk mengembangkan diri ada berbagai cara, yang salah satunya dapat dilakukan dengan membuat karya tulis ilmiah. Menulis karya tulis sendiri, adalah sebuah upaya pengembangan diri mahasiswa dalam mengekspresikan diri. Namun sekali lagi, budaya menulis di kalangan mahasiswa itu sangat rendah. Idealnya, seorang mahasiswa harus mau dan pintar menulis.
Mahasiswa sebagai subjek pendidikan tentu harus  memiliki potensi menulis yang sangat besar.  Sebenarnya kita  memiliki segudang bahan berupa pengalaman pribadi dan kita  bisa menulis tentang indahnya menjadi mahasiswa, atau bisa juga menuliskan soal duka cita menjadi mahasiswa. Bisa pula memaparkan tentang sisi-sisi kehidupan mahasiswa dan sebagainya. Selama ini banyak orang menjadikan mahasiswa sebagai bahan perbincangan, sebagai bahan tulisan. Berbagai sorotan dan kritik dilemparkan orang dalam tulisan mengenai profesi mahasiswa yang semakin marginal ini.
Banyak kendala yang mengahadang aktivitas menulis di kalangan mahasiswa. Pertama, dari sisi mahasiswa, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik. Mereka umumnya miskin bahan bacaan atau referensi. Ada ungkapan yang mengatakan, penulis yang baik berawal dari pembaca yang baik. Coba saja amati di sekeliling anda. Berapa banyak teman kita yang sering pergi ke perpustakaan kampus, berapa banyak dari mereka yang setiap harinya membaca koran dari pada novel, pertanyaan tersebut dapat mencerminkan apakah mahasiswa mempunyai budaya membaca yang baik atau sebaliknya.
Kedua, motivasi yang rendah di kalangan mahasiswa untuk menulis. Tidak sedikit mahasiswa yang walapun telah banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang luas, namun enggan untuk menulis.
Kendala ketiga, mahasiswa yang miskin gagasan.. Andaikan artikel-artikel, opini dan celoteh mahasiswa banyak mengisi lembaran surat kabar dan majalah. Namun, mengapa tidak banyak mahasiswa yang mau menulis. Kurangnya gagasan dalam menulis membuat mahasiswa tidak tahu apa yang akan ditulis. Bahkan untuk memulai menulis kata pertama dalam karangannya sering membuatnya berkali-kali membuang kertas akibat salah memilih kata.
Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis
Di IAIN Walisongo pun tidak berbeda jauh keadaan mahasiswanya, budaya menulis masih sangat rendah, padahal sudah terdapat berbagai UKM-UKM yang orientasinya ke arah menulis, entah itu intra ataupun ekstra. Contohnya di institute ada yang namanya Amanat, dan di tingkat fakultas  tarbiyah  ada Edukasi, fakultas syariah ada Justisia. Tapi jarang sekali dari mereka yang memanfaatkan  sarana  itu.
Untuk menulis sebenarnya tidak sulit, kita hanya butuh membuka pikiran kita, tuangkan apa yang ada dalam otak kita, semuanya curahkan ke dalam tulisan, kalau kata Bapak Rikza” ketika menulis itu kita harus mengalir”.  dengan demikian ketika kita sudah terbiasa menulis, maka kita tidak akan bingung lagi mengeluarkan uneg-uneg ataupun gagasan  yang ada didalam pikiran kita kedalam bentuk tulisan. Dan masalah kesesuaian kalimat, pilihan kata, akan membaik dengan sendirinya ketika kita sudah terbiasa.
Menulis tulisan ilmiah memang membutuhkan energi lebih besar daripada menulis di blog, karena dalam penulisan karya ilmiah kita dituntut pertanggung jawaban atas tulisan kita  atau dengan kata lain harus ada referensi, apalagi menulis komentar di facebook. Oleh karenanya perlu latihan dan pengasahan. Jangan segan-segan meminta orang lain untuk membaca tulisan kita, bukan saja orang yang sebidang dengan kita, tetapi sesekali orang awam perlu membacanya.
Mengenai budaya menulis di IAIN Walisongo Semarang itu sendiri, dari hasil wawancara dengan saudara Lehan, anggota dari unit kegiatan mahasiswa Edukasi, dia mengungkapkan bahwa budaya menulis di IAIN Walisongo memang rendah, itu dapat di buktikan dari berbagai artikel yang dimuat dalam jurnal Edukasi, itu sangat sedikit atau hampir tidak ada sumbangan tulisan dari mahsiswa selain anggota Edukasi itu sendiri. Dan yang memprihatinkan lagi setelah jurnal dari Edukasi itu terbit, sangat jarang ada mahasiswa yang membaca hasil karya itu.
Dan  untuk mengembangkan budaya menulis, memang itu harus lahir dari diri masing-masing, tetapi  kiranya perlu diadakan berbagai pelatihan- pelatihan jurnalistik, kemudian lomba-lomba yang berbau manulis yang dapat menarik minat mereka, misalnya membuat artikel, makalah, cerpen atau yang lainya, dan yang tidak kalah penting adalah acara yang mengandung motivasi-motivasi untuk membudayakan menulis. Semua itu perlu diadakan untuk menunjang dan mengembangkan budaya menulis.
By: M Agus salim
Fakultas tarbiyah IAIN Walisongo Semarang
Pendidikan Bahasa Arab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar